TAKENGON - Kesenian Didong mampu mempertahankan bahasa Gayo dari kepunahan, karena Didong merupakan bagian dari 10 sastra lisan yang ada dalam khasanah Gayo dan masih digemari komunitas masyarakat itu.
Hal itu diungkapkan pakar ekolinguistik (ahli lingkungan bahasa, --red), Yusradi Usman al-Gayoni MHum, kepada Serambi, Kamis (6/1). “Sarana akhir untuk mempertahankan Bahasa Gayo adalah melalui kesenian Didong, karena seni sastra lisan berbahasa Gayo ini masih dipertahankan secara turun-temurun di dalam komunitas masyarakat Gayo,” ujarnya.
Yusradi mengatakan, selain menggunakan bahasa Gayo, kesenian Didong yang kerap dipertunjukkan masyarakat Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah itu merupakan perpaduan dari Seni Sastra Gayo dan Seni Tari yang menggunakan Bahasa Gayo untuk menyampaikan pesan-pesan moral kepada para penonton.
Didong juga digemari masyarakat Gayo lainnya yang menghuni Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tenggara, Lokop Serbejadi di Kabupaten Aceh Timur; Pulo Tige Kabupaten Aceh Tamiang dan sebagian kecil di Aceh Selatan. Meskipun begitu, Didong lebih berkembang di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Menurut Yusradi, Didong yang dimainkan antara 10 hingga 15 orang dalam satu grup itu terdapat Ceh (vokalis didong), apit (pendamping ceh) dan penunung (pengikut saat refrain), semuanya menggunakan bahasa Gayo.
“Untuk menggalakkan kembali Bahasa Gayo, maka kesenian Didong menjadi salah satu sarana paling efektif pembelajaran Bahasa Gayo kepada masyarakat. Bukan saja seniman Didong, para penonton juga harus mengerti Bahasa Gayo, sehingga dapat mengetahui materi yang disampaikan oleh peserta Didong,” sebut Yusradi.
Ia menjelaskan, dari hasil penelitian yang dilakukannya, hingga kini jumlah masyarakat Gayo berkisar 500.000 jiwa yang tersebar di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan sebagian kecil di Aceh Timur, Aceh Tamiang dan Aceh Selatan.
“Dari 500.000 jiwa etnis Gayo tersebut, sekitar 300.000 jiwa yang masih menggunakan Bahasa Gayo untuk berkomunikasi dalam keluarga dan lingkungannya. Selebihnya, tidak lagi menggunakan Bahasa Gayo dalam kehidupan sehari-hari,” tambahnya.
Menurut dia, penyebab semakin menyusutnya pengguna bahasa Gayo, karena etnis Gayo sudah enggan menggunakan bahasa Gayo dalam keluarganya, dan cenderung berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. “Banyak orang tua etnis Gayo tidak lagi mengajarkan Bahasa Gayo kepada anak-anaknya, sehingga jumlah pemakai bahasa Gayo semakin berkurang,” ujarnya.
http://www.serambinews.com/news/view/46642./didong-mampu-pertahankan-bahasa-gayo.
Label:
INFO TAKENGON
Hal itu diungkapkan pakar ekolinguistik (ahli lingkungan bahasa, --red), Yusradi Usman al-Gayoni MHum, kepada Serambi, Kamis (6/1). “Sarana akhir untuk mempertahankan Bahasa Gayo adalah melalui kesenian Didong, karena seni sastra lisan berbahasa Gayo ini masih dipertahankan secara turun-temurun di dalam komunitas masyarakat Gayo,” ujarnya.
Yusradi mengatakan, selain menggunakan bahasa Gayo, kesenian Didong yang kerap dipertunjukkan masyarakat Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah itu merupakan perpaduan dari Seni Sastra Gayo dan Seni Tari yang menggunakan Bahasa Gayo untuk menyampaikan pesan-pesan moral kepada para penonton.
Didong juga digemari masyarakat Gayo lainnya yang menghuni Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tenggara, Lokop Serbejadi di Kabupaten Aceh Timur; Pulo Tige Kabupaten Aceh Tamiang dan sebagian kecil di Aceh Selatan. Meskipun begitu, Didong lebih berkembang di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Menurut Yusradi, Didong yang dimainkan antara 10 hingga 15 orang dalam satu grup itu terdapat Ceh (vokalis didong), apit (pendamping ceh) dan penunung (pengikut saat refrain), semuanya menggunakan bahasa Gayo.
“Untuk menggalakkan kembali Bahasa Gayo, maka kesenian Didong menjadi salah satu sarana paling efektif pembelajaran Bahasa Gayo kepada masyarakat. Bukan saja seniman Didong, para penonton juga harus mengerti Bahasa Gayo, sehingga dapat mengetahui materi yang disampaikan oleh peserta Didong,” sebut Yusradi.
Ia menjelaskan, dari hasil penelitian yang dilakukannya, hingga kini jumlah masyarakat Gayo berkisar 500.000 jiwa yang tersebar di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan sebagian kecil di Aceh Timur, Aceh Tamiang dan Aceh Selatan.
“Dari 500.000 jiwa etnis Gayo tersebut, sekitar 300.000 jiwa yang masih menggunakan Bahasa Gayo untuk berkomunikasi dalam keluarga dan lingkungannya. Selebihnya, tidak lagi menggunakan Bahasa Gayo dalam kehidupan sehari-hari,” tambahnya.
Menurut dia, penyebab semakin menyusutnya pengguna bahasa Gayo, karena etnis Gayo sudah enggan menggunakan bahasa Gayo dalam keluarganya, dan cenderung berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. “Banyak orang tua etnis Gayo tidak lagi mengajarkan Bahasa Gayo kepada anak-anaknya, sehingga jumlah pemakai bahasa Gayo semakin berkurang,” ujarnya.
1 komentar:
Kunjungan balik gan!
Posting Komentar